BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PENDIDIKAN
TINGGI*
OLEH
Pendahuluan
Masa-masa setelah dibatalkannya
Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh
Mahkamah Konstitusi RI pada 31 Maret 2010, yayasan penyelenggara pendidikan
mulai dari tingkat usia dini sampai dengan pendidikan tinggi harus senantiasa
waspada mengikuti produk-produk peraturan perundang-undangan yang akan dan/atau
telah dikeluarkan oleh Pemerintah dan/atau DPR RI , terutama di dalam rangka
memenuhi “perintah” Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas).
Mengingat begitu complicated-nya dampak peraturan
perundang-undangan di bidang pendidikan dan peraturan terkait lainnya, maka
pemakalah tidak hanya mengkritisi UU/PP di bidang pendidikan, tetapi juga akan
menyampaikan berbagai isu kritis di bidang pendidikan dan peraturan terkait
lainnya.
I.
Isu-isu
Kritis di Bidang Pendidikan
1.
Tentang
Kependidikan
1.1
Undang-Undang
No. 20/2003 Tentang Sisdiknas
a. Pasal
6 ayat (2), frase “bertanggung jawab” harus diubah menjadi “ikut bertanggung
jawab”.
b. Pasal
12 ayat (2) huruf c, frase “….yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya”, harus diubah menjadi “mendapatkan bea siswa bagi yang
berprestasi”.
c. Pasal
53 ayat (1), konstitusional sepanjang frase “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai fungsi penyelenggaraan
pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
d. Penjelasan
Pasal 53 ayat (1) bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
e. Pasal
55 ayat (3) dan ayat (4) kata “dapat” harus diubah menjadi “wajib”.
1.2
Undang-Undang
No. 14/2005 Tentang Guru dan Dosen
a. Tentang
Sertifikasi bagi Guru:
1) pelaksanaan
sertifikasi sangat diskriminatif—jatah guru swasta minim;
2) bagi
sekolah swasta yang gurunya sangat minim cukup sulit jika gurunya harus
mengikuti proses sertifikasi selama dua semester.
b. Pasal
41 ayat (1): “guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen”.
c. Pasal
41 ayat (3): “guru wajib menjadi anggota profesi”.
d. Peraturan
pemerintah No. 74/2008 Tentang Guru, bagian kesebelas, Pasal 44 mengamanatkan
kebebasan Guru untuk berserikat dalam organisasi profesi guru.
e. Undang-Undang
No. 14/2005 Bab I Pasal 1 butir 1: “guru adalah pendidik profesional…”.
f. Undang-Undang No. 14/2005 Bab I Pasal 2: “dosen
adalah pendidik profesional dan ilmuwan…”.
1.3 Catatan Kritis atas Peraturan Pemerintah
No. 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010
1.
Tata
kelola untuk pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 11, 14, 21, 126, 136/PUU-VII/2009
bertanggal 31 Maret 2009 Perihal Sistem Pendidikan dan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan telah dilaksanakan antara lain dengan
dicantumkannya dalam PP No. 66/2010 tersebut, yakni:
a. Pasal
58 C
b. Pasal
58 G
c. Pasal
60 ayat (2) d.
2.
Ada
Pasal-Pasal yang bertentangan
Dalam ketiga pasal di atas jelas dikemukakan bahwa:
a. Pasal
58 C: “organ dan pengelolaan satuan pendidikan untuk usia dini jalur formal,
pendidikan dasar, dan/atau menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat
menggunakan tata kelola yang ditetapkan
oleh badan hukum nirlaba yang sah berdasarkan ketentuan perundang-undangan”.
b. Pasal
58 G: “ditto untuk pendidikan tinggi”.
c. Pasal
60 ayat (2) d: “Masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan anak usia
dini jalur formal, pendidikan dasar, menengah, dan/atau tinggi, melalui badan
hukum yang berbentuk antara lain
Yayasan, Perkumpulan, dan badan lain sejenis”.
Namun, di samping ketiga Pasal tersebut terdapat dua pasal
pada PP No. 17/2010 yang isinya bertentangan dengan ketiga pasal tersebut di
atas, yaitu pasal-pasal yang berikut.
i.
Pasal 15
Menteri menetapkan kebijakan tata
kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas
pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi:
a. Kementerian;
b. Kementerian
Agama;
c. Kementerian
lain atau lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan program
dan/atau satuan pendidikan;
d. pemerintah
provinsi;
e. pemerintah
kabupaten/kota;
f.
penyelenggara
pendidikan yang didirikan masyarakat, dan
g. satuan
atau program pendidikan.
ii.
Pasal 26
Gubernur menetapkan kebijakan tata
kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas
pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi:
a. semua
jajaran pemerintah provinsi;
b. pemerintah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
c. penyelenggara
pendidikan yang didirikan masyarakat di provinsi yang bersangkutan;
d. satuan
program pendidikan di provinsi yang bersangkutan;
e. dewan
pendidikan di provinsi yang bersangkutan;
f.
komite sekolah atau nama lain yang sejenis di
provinsi yang bersangkutan;
g. peserta
didik di provinsi yang bersangkutan;
h. orangtua/wali
peserta didik di provinsi yang bersangkutan;
i.
pendidik dan tenaga kependidikan di provinsi
yang bersangkutan;
j.
masyarakat di provinsi yang bersangkutan, dan
k. pihak
lain yang terkait dengan pendidikan di provinsi yang bersangkutan.
3.
Pengertian
“Pengelolaan” dan “Tata Kelola”
Ada
kesan kuat bahwa pengertian “pengelolaan” (management)
dan “tata kelola” (governance) dicampuradukkan atau disamakan, terbukti antara lain:
a. dalam
Pasal 1 tentang Pengertian Umum hanya dijelaskan tentang “pengelolaan” dan
tidak ada penjelasan tentang “tata kelola”, sedangkan istilah “tata kelola”
banyak digunakan dalam PP 66/2010;
b. Pasal
49 ayat (2): prinsip-prinsip akuntabilitas (accountability),
transparansi (transparency), dan
keadilan (fairness) yang disebutkan
di sini dikatakan sebagai prinsip “pengelolaan” padahal prinsip-prinsip
tersebut lazim dianggap sebagai prinsip “tata kelola”;
c. dan
sebagainya.
Kerancuan
penggunaan istilah-istilah tersebut berpotensi menimbulkan pula kerancuan cara
berfikir dalam penyelenggaraan pendidikan karena tidak dapat membedakan antara
“pengelolaan” dan “tata kelola”.
1.4
UU No.
12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi
a. Secara
umum UU No. 12/2012 sudah menampung hampir semua aspirasi Badan Penyelenggara
Pendidikan Tinggi (Yayasan) dan perguruan tinggi yang diselenggarakannya (PTS).
Namun, masih ada beberapa hal yang perlu kita evaluasi, kaji, dan analisis,
karena dapat mengganggu eksistensi dan perkembangan PTS di masa yang akan
datang.
b. Beberapa
hal/masalah yang perlu kita cermati adalah, antara lain mengenai:
1) Pendidikan
TInggi Keagamaan, khususnya yang tercantum di dalam Pasal 7 ayat (3) huruf e
dan ayat (4); penjelasan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (7);
2) Kerja
Sama Internasional Pendidikan Tinggi, khususnya yang tercantum pada Pasal 50
dan Pasal 90 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Lembaga Negara
Lain;
3) Akreditasi
sebagaimana tercantum di dalam Pasal 55, baik akreditasi untuk Institusi (PT)
maupun untuk Prodi;
hal-hal yang berkaitan dengan Akreditasi dapat dijelaskan secara singkat
sebagai berikut.
Setiap perguruan tinggi
baik negeri maupun swasta harus melakukan akreditasi. Kemendikbud sudah
menetapkan bila suatu program studi (prodi) dari suatu perguruan tinggi (PT)
tidak melakukan akreditasi, setelah tahun 2012, maka prodi tersebut tidak akan
diperbolehkan mengeluarkan ijasah. Menurut PP No. 19 Tahun 2005 tentang SNP
Pasal 94 butir 2: batas waktu akreditasi selambat-lambatnya 16 Mei 2012.
Bagaimana dengan PT yang belum terakreditasi setelah tahun 2012?
Di
Indonesia ada 3124 perguruan tinggi swasta (PTS) dan 92 perguruan tinggi negeri
(PTN). Ada lebih dari 6000 program studi yang belum terakreditasi.
Masalah
a.
Di
lapangan dalam melakukan persiapan akreditasi,
ditemukan PT yang meminjam dosen dari luar, belum lagi yang melakukan
persiapan asal-asalan karena tanpa akreditasi mereka sudah merasa cukup
diminati calon mahasiswa.
b.
Kurikulum, jumlah dosen tetap, keadaan mahasiswa, sarana dan prasarana,
serta dana, administrasi akademik, tenaga administrasi/kependidikan,
kerumahtanggaan seringkali tidak diperhatikan dalam pengisian boring.
c.
Sistem akreditasi perguruan tinggi banyak dikeluhkan berjalan lamban,
baik yang dilakukan oleh BAN-PT (kemungkinan karena kurangnya tenaga asesor
khususnya untuk prodi yang langka) dan oleh perguruan tinggi sendiri (pengajuan
tersendat-sendat).
d.
Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan pihak Perguruan Tinggi untuk
memenuhi persyaratan standarisasi akreditasi misalnya: sarana dan prasarana
harus terpenuhi, memenuhi sumber daya manusia : dosen, laboran, teknisi, tenaga
administrasi, dan tenaga pendukung. Dan supaya PT memenuhi keseluruhan program
Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pendanaan yang memadai.
e.
Penurunan peringkat akreditasi menyebabkan penurunan jumlah mahasiswa.
Pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masalah akreditasi tidak terlalu memengaruhi
minat calon mahasiswa untuk mendaftar ke PTN tersebut. Beda halnya dengan PTS
yang sangat bergantung pada peringkat akreditasi.
f.
Pendanaan Perguruan Tinggi, khususnya swasta, masih tergantung pada
jumlah mahasiswa, sehingga seperti dalam lingkaran masalah, karena calon
mahasiswa selain melihat peringkat akreditasi program studi juga melihat
peringkat akreditasi dari PTS tersebut.
g.
Kemampuan Yayasan dan kepemimpinan dari PTS juga memengaruhi tingkat
keseriusan dan kecepatan pemenuhan nilai akreditasi PT tersebut.
h.
Terjadi penurunan peringkat akreditasi PTS dan juga PTN, apa
penyebabnya? Kemungkinan bertambahnya butir dalam borang akreditasi (dari 35
sampai 40 butir isian menjadi 103 butir
isian), artinya terjadi perubahan standar penilaian:
i.
Ada juga program studi yang menjiplak (plagiat) borang program studi
lain pada PT lain, khususnya Evaluasi Diri.
j.
PT tidak transparan kepada mahasiswa dan calon mahasiswa berkaitan
dengan akreditasi.
4) pelaksanaan
UU No. 12/2012 berupa 10 Peraturan Pemerintah (PP) dan 28 Permendikbud RI.
Dalam hal ini yayasan penyelenggara PTS dan pimpinan PTS harus terus
mengawal dan memberikan input atas semua RPP rancangan Permendikbud, agar tidak
kecolongan/ ada ketentuan yang merugikan dunia pandidikan tinggi swasta;
5) hal
khusus lainnya berkaitan dengan pelaksanaan UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas
dan UU No. 12/2012 adalah pengertian PTS. Dalam hal ini Pengurus Asosiasi BP
TPSI sangat intensif membicarakan hal ini dengan Dirjen Dikti (terakhir 14
Januari 2013) dan dengan Wapres RI.
1.5
Berbagai
peraturan lainnya, khususnya yang berkaitan dengan:
a.
Surat Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012
bertanggal 27 Januari 2012 tentang Publikasi
Karya Ilmiah. Dalam hal ini
secara prinsip Pengurus Asosiasi BP PTSI menolak surat Dirjen Dikti tersebut
karena bertentangan dengan ketentuan UU No. 23/2003 Tentang Sisdiknas Pasal 25,
yang menyatakan pada ayat (1): “Perguruan tinggi menetapkan persyaratan
kelulusan untuk mendapatkan gelar akedemik, profesi, atauvokasi.”
b.
Surat Dirjen Dikti No. 1639/E/T/2011 dan No.
1643/E/T/2011 masing-masing bertanggal 18 Oktober 2011 tentang Moratorium (penghentian proses
pengajuan usulan pembukaan program studi, bahkan pembukaan PTS baru).
II.
Tentang
Yayasan
Ketentuan
tentang Yayasan diatur di dalam Undang-Undang No. 16/2001 jo UU No. 28/2004 dan
PP No. 63/2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan. Di dalam
kenyataannya hingga saat ini masih banyak yayasan yang belum menyesuaikan
AD-nya seperti diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang Yayasan dan
PP-nya.
Mereka
ini diancam bubar dan kekayaannya harus dilikuidasi. Pertanyaan yang muncul
“bagaimana nasib siswa/mahasiswa, guru/dosen,
dan tenaga kependidikannya?”
Untuk
menyikapi kegusaran besar atas nasib dan masa depan yayasan yang bergerak di
bidang pendidikan, di dalam Seminar Nasional tanggal 23 Maret 2011 di Hotel The
Sultan, Jakarta, peserta seminar sepakat untuk meminta kepada Mahkamah
Konstitusi guna melakukan uji materi UU Tentang Yayasan, dengan dua permohonan:
(1) primair dan (2) subsidair.
Yayasan
yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya,
mempunyai beberapa pilihan hukum sebagai berikut.
a. Membubarkan
yayasannya, sekiranya tujuan yayasan sudah tercapai atau tidak tercapai.
b. Menggabungkan
diri dengan yayasan lain terutama dengan yayasan yang sudah maju dan mempunyai
maksud dan tujuan yang sama.
c. Mengubah
diri menjadi bentuk badan hukum lain, seperti perhimpunan, perkumpulan, dan
lain-lain, atau perseroan jika titik berat tujuan yayasan adalah komersial.
d. Mendirikan
yayasan baru dengan nama baru, dengan kekayaan awal dari hasil likuidasi.
Sejarah kekayaan ini dapat dicantumkan dalam Anggaran Dasar.
Sejak
diberlakukannya UU Yayasan Tahun 2001, sebenarnya pemerintah sudah memberi
jangka waktu bagi yayasan untuk memilih, apakah akan tetap menggunakan nama
Yayasan dengan konsekuensi baginya berlaku/mengikat ketentuan UU Yayasan; atau
memilih untuk mengubah bentuk menjadi badan hukum lain (misal: perkumpulan,
perhimpunan, dll.), dan tidak perlu mengikuti ketentuan UU Yayasan.
Ada
2 kriteria Yayasan yang terancam bubar,
yaitu sebagai berikut.
a. Yayasan
yang sedang dalam proses menunggu pencatatan daftar yayasan dari Kementerian
Hukum dan HAM. Artinya bahwa yayasan tersebut sudah mengubah Anggaran Dasar dan
menyesuaikan sesuai ketentuan UU Yayasan, tetapi belum ada surat
penerimaan/pencatatan dari KemenkumHam; atau
b. Yayasan
yang memang tidak mengubah anggaran dasarnya, entah karena tidak mau (ini saya
dengar dari Indonesia wilayah Timur dan Batam), atau karena ketidak-tahuan akan
konsekuensinya.
Memerhatikan
hal-hal tersebut, maka jika Asosiasi BPPTSI akan mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi,
dasar hukum kita agak lemah, karena UU Yayasan telah memberikan beberapa
pilihan, dan dari sudut waktu penyesuaian pun sudah diberikan cukup lama.
Memang
yayasan (yang tidak menyesuaikan) dibubarkan (dimatikan), masih bisa
menyelenggarakan pendidikan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010
Pasal 60 huruf d dinyatakan bahwa “masyarakat yang menyelenggarakan satuan
pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, menengah, dan/atau
tinggi, melalui badan hukum yang berbentuk antara lain yayasan, perkumpulan,
dan badan lain sejenis. Dengan kata lain, yayasan yang terancam bubar dapat
mengganti bentuk badan hukumnya, tidak lagi menjadi yayasan, tetapi bisa
memilih bentuk badan hukum lain seperti perkumpulan/perhimpunan. Misalnya
tadinya Yayasan Marsudirini berubah menjadi Perhimpunan Marsudirini.
Mungkin
yang dibutuhkan adalah pengakuan bahwa badan hukum Yayasan boleh
menyelenggarakan pendidikan secara langsung. Dengan demikian, apa pun yang akan
dihadapi di depan, kita akan lebih tenang dan lebih memusatkan pemikiran pada
penataan, peningkatan, dan pengembangan karya yayasan. Dalam hal ini, yang
diperlukan adalah Addendum (Aturan Tambahan) dalam UU Yayasan yang mengatur secara
khusus tentang yayasan pendidikan,
mengingat bahwa saat ini yang disebut Yayasan mempunyai ragam aktivitas,
misalnya kesehatan, lingkungan hidup, dan lain-lain.
Selanjutnya
agar kepada Mahkamah Konstitusi RI diajukan permohonan:
A.
Primair
1) Membatalkan
ketentuan Pasal 71 UU Tentang Yayasan.
2) Menghapuskan
kata “paling lambat tiga tahun” dalam Pasal 71 ayat (1).
B.
Subsidair
Memohon perpanjangan waktu untuk penyesuaian Anggaran Dasar yayasan. Jika
permohonan dikabulkan, tugas kita melakukan sosialisasi besar-besaran atas
konsekuensi hukum pendirian yayasan bagi para anggota.
Catatan: Kita pantas bersyukur bahwa melalui
perjuangan yang tidak kenal lelah dari Pengurus Asosiasi BP PTSI dan eksponen
masyarakat lainnya, saat ini telah
terbit PP No. 2/2013 Tentang Perubahan atas PP No. 63/2008 Tentang Pelaksanaan
UU Tentang Yayasan.
PP ini intinya
menetapkan tidak ada pembubaran suatu Yayasan asal masih melakukan kegiatan
secara terus-menerus sesuai dengan Anggaran Dasarnya dan belum pernah
dibubarkan.
III.
Tentang
Ketenagakerjaan
Kalangan
pendidikan cukup gusar, utamanya karena penyelesaian perselisihan/PHK harus ke Dinas Ketenagakerjaan sesuai dengan
UU No. 13/2003. Juga UU No. 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
serta UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Penyelesaian Perselisihan tentang PHK akan ditangani oleh P4D atau
P4P.
Penetapan
UU No. 13/2003 Pasal 1 ayat (6) Tentang pekerja/buruh seharusnya tidak dapat
diterapkan kepada guru/dosen sebagai tenaga pendidik profesional dan keilmuan,
dengan alasan:
a. hasil
kerja buruh/pekerja adalah barang/jasa, sedang
b. hasil
kerja guru/dosen adalah sesuai dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional (sesuai UU No. 20/2003).
Keprihatinan
Setiap
terjadi perselisihan antara guru/dosen dengan Yayasan, penyelesaiannya
menggunakan Undang-Undang No. 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian,
guru dan dosen dianggap/disamakan dengan buruh pabrik atau kuli pelabuhan yang
terikat dengan perjanjian kerja dengan suatu perusahaan. Mengapa tidak
diselesaikan berdasarkan Surat Perjanjian Kerja dan/atau berdasarkan AD/ART
Yayasan penyelenggara pendidikan?
Kesulitan
baru terjadi jika LSM ikut masuk ke lingkungan sekolah dengan dalih membela
dan/atau memerjuangkan hak-hak guru/dosen.
IV.
Tentang
Otonomi Daerah
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur hal ini tertuang di dalam UU No. 22/1999 jo UU
No. 32/2004, UU No. 23/1999 jo UU No. 33/2004, dan PP No. 48/2008 Tentang
Pendanaan Pendidikan.
Peraturan
perundangan tersebut:
a. sering
dilaksanakan secara diskriminatif, baik di dalam penentuan jatah untuk
sertifikasi guru, bantuan keuangan, bantuan sarana dan prasarana pendidikan;
b. isu
penarikan guru PNS yang dipekerjakan pada sekolah swasta;
c. pemda
masih saja sering mendirikan SD/SMP/SMA/SMK
baru yang letaknya sangat berdekatan dengan sekolah-sekolah swasta.
Cepat atau lambat, hal tersebut pasti akan mematikan sekolah-sekolah swasta.
V.
Kebijakan
Perpajakan Terhadap Yayasan penyelenggara Pendidikan
Karena
aspek yang diatur di dalam kebijakan tersebut begitu luas dan rinci, maka pada
kesempatan ini akan diberikan ketentuan yang lengkap mengenai hal tersebut.
Penutup
Berdasarkan hal-hal yang
diuraikan dan diulas di atas, ternyata masih begitu banyak pekerjaan rumah yang
dihadapi oleh dunia pendidikan swasta. Oleh karena itu, kita harus
terus-menerus mengkritisi berbagai peraturan perundang-undangan di bidang
pendidikan serta berbagai peraturan perundangan terkait lainnya, kemudian menyampaikan
saran dan usul kepada Pemerintah dan DPR RI, dan di mana dianggap perlu kepada
Pemda serta instansi terkait lainnya.
Beberapa
prinsip yang selalu jadi platform
juang dunia swasta adalah pengakuan hak
sejarah yayasan, perkumpulan, perserikatan, dan badan hukum sejenis lainnya
yang menyelenggarakan pendidikan; hak
asasi yayasan; kebhinekaan/kemajemukan;
nondiskriminasi; nonetatisme.
Pada akhirnya marilah kita
perbaiki/sempurnakan berbagai kekurangan diri kita, mulai dari (1) fokus
pengembangan, (2) fokus keunggulan, (3) proses pembelajaran (4) system
penjaminan mutu, dan (5) selalu memerhatikan kebutuhan dunia kerja dan
industri, wirausaha, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Singaraja, 25 Januari 2013
Thomas Suyatno
* Makalah ini disajikan dalam acara Pelantikan Pengurus
Asosiasi BP PTSI Bali pada 25 Januari 2013 di Singaraja, Bali.
**
Thomas Suyatno adalah Guru Besar (Profesor) di
bidang Ekonomi/Manajemen dan saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi
Badan Penyelenggara Perguruan TInggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Ketua Yayasan
Bhakti Pembangunan Indonesia, Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta,
Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Manado,Dosen Pascasarjana Universitas
Negeri Gorontalo, dan Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Mulawarman,
Samarinda.
Terima kasih buat Artikel tentang Kebijakan Pemerintah Terkait Pendidikan yang cukup lengkap ini. Salam kenal dari admin Reportase Guru buat semua pengunjung laman ini.
BalasHapusReportase Guru Berbagi kabar tentang Dunia Guru, lowongan kerja, tunjangan, pendidikan, Info sekolah, Honorer, Beasiswa serta masih banyak lagi informasi terkini seperti:
Cara Cek Status Inpassing Guru
Panduan Juknis Penulisan Ijazah Lengkap
Faktor Penyebab Gagal Seleksi Tes CPNS
Video Panduan Upload Data Siswa
Cara Kemendikbud Atasi Bencana Kabut Asap
Himbauan Kemendikbud Jelang Pelaksanaan UKG Online
Kemenag Dituduh Asal-asalan Urus Pendidikan Islam Madrasah
Info Sekolah dan Dunia Islam Terkini