Selasa, 26 Februari 2013

BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PENDIDIKAN TINGGI


 BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PENDIDIKAN TINGGI*
OLEH
THOMAS SUYATNO**

 Pendahuluan

                Masa-masa setelah dibatalkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi RI pada 31 Maret 2010, yayasan penyelenggara pendidikan mulai dari tingkat usia dini sampai dengan pendidikan tinggi harus senantiasa waspada mengikuti produk-produk peraturan perundang-undangan yang akan dan/atau telah dikeluarkan oleh Pemerintah dan/atau DPR RI , terutama di dalam rangka memenuhi “perintah” Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
                Mengingat begitu complicated-nya dampak peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan dan peraturan terkait lainnya, maka pemakalah tidak hanya mengkritisi UU/PP di bidang pendidikan, tetapi juga akan menyampaikan berbagai isu kritis di bidang pendidikan dan peraturan terkait lainnya.

I.                    Isu-isu Kritis di Bidang Pendidikan

1.                   Tentang Kependidikan
1.1               Undang-Undang No. 20/2003 Tentang Sisdiknas
a.       Pasal 6 ayat (2), frase “bertanggung jawab” harus diubah menjadi “ikut bertanggung jawab”.
b.      Pasal 12 ayat (2) huruf c, frase “….yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, harus diubah menjadi “mendapatkan bea siswa bagi yang berprestasi”.
c.       Pasal 53 ayat (1), konstitusional sepanjang frase “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai fungsi penyelenggaraan pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
d.      Penjelasan Pasal 53 ayat (1) bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
e.      Pasal 55 ayat (3) dan ayat (4) kata “dapat” harus diubah menjadi “wajib”.

1.2               Undang-Undang No. 14/2005 Tentang Guru dan Dosen
a.       Tentang Sertifikasi bagi Guru:
1)      pelaksanaan sertifikasi sangat diskriminatif—jatah guru swasta minim;
2)      bagi sekolah swasta yang gurunya sangat minim cukup sulit jika gurunya harus mengikuti proses sertifikasi selama dua semester.
b.      Pasal 41 ayat (1): “guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen”.
c.       Pasal 41 ayat (3): “guru wajib menjadi anggota profesi”.
d.      Peraturan pemerintah No. 74/2008 Tentang Guru, bagian kesebelas, Pasal 44 mengamanatkan kebebasan Guru untuk berserikat dalam organisasi profesi guru.
e.      Undang-Undang No. 14/2005 Bab I Pasal 1 butir 1: “guru adalah pendidik profesional…”.
f.  Undang-Undang No. 14/2005 Bab I Pasal 2: “dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan…”.

1.3    Catatan Kritis atas Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010

1.       Tata kelola untuk pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 11, 14, 21, 126, 136/PUU-VII/2009 bertanggal 31 Maret 2009 Perihal Sistem Pendidikan dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan telah dilaksanakan antara lain dengan dicantumkannya dalam PP No. 66/2010 tersebut, yakni:
a.       Pasal 58 C
b.      Pasal 58 G
c.       Pasal 60 ayat (2) d.

2.       Ada Pasal-Pasal yang bertentangan
Dalam ketiga pasal di atas jelas dikemukakan bahwa:
a.       Pasal 58 C: “organ dan pengelolaan satuan pendidikan untuk usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan/atau menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat menggunakan tata kelola yang ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang sah berdasarkan ketentuan perundang-undangan”.
b.      Pasal 58 G: “ditto untuk pendidikan tinggi”.
c.       Pasal 60 ayat (2) d: “Masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, menengah, dan/atau tinggi, melalui badan hukum yang berbentuk antara lain Yayasan, Perkumpulan, dan badan lain sejenis”.

Namun, di samping ketiga Pasal tersebut terdapat dua pasal pada PP No. 17/2010 yang isinya bertentangan dengan ketiga pasal tersebut di atas, yaitu pasal-pasal yang berikut.

i.                     Pasal 15
Menteri menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi:
a.       Kementerian;
b.      Kementerian Agama;
c.       Kementerian lain atau lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan program dan/atau satuan pendidikan;
d.      pemerintah provinsi;
e.      pemerintah kabupaten/kota;
f.        penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan
g.       satuan atau program pendidikan.

ii.                   Pasal 26
Gubernur menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi:
a.       semua jajaran pemerintah provinsi;
b.      pemerintah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
c.       penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat di provinsi yang bersangkutan;
d.      satuan program pendidikan di provinsi yang bersangkutan;
e.      dewan pendidikan di provinsi yang bersangkutan;
f.        komite sekolah atau nama lain yang sejenis di provinsi yang bersangkutan;
g.       peserta didik di provinsi yang bersangkutan;
h.      orangtua/wali peserta didik di provinsi yang bersangkutan;
i.         pendidik dan tenaga kependidikan di provinsi yang bersangkutan;
j.        masyarakat di provinsi yang bersangkutan, dan
k.       pihak lain yang terkait dengan pendidikan di provinsi yang bersangkutan.

3.       Pengertian “Pengelolaan” dan “Tata Kelola”
Ada kesan kuat bahwa pengertian “pengelolaan” (management) dan “tata kelola”  (governance) dicampuradukkan atau disamakan, terbukti antara lain:
a.       dalam Pasal 1 tentang Pengertian Umum hanya dijelaskan tentang “pengelolaan” dan tidak ada penjelasan tentang “tata kelola”, sedangkan istilah “tata kelola” banyak digunakan dalam PP 66/2010;
b.      Pasal 49 ayat (2): prinsip-prinsip akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), dan keadilan (fairness) yang disebutkan di sini dikatakan sebagai prinsip “pengelolaan” padahal prinsip-prinsip tersebut lazim dianggap sebagai prinsip “tata kelola”;
c.       dan sebagainya.
Kerancuan penggunaan istilah-istilah tersebut berpotensi menimbulkan pula kerancuan cara berfikir dalam penyelenggaraan pendidikan karena tidak dapat membedakan antara “pengelolaan” dan “tata kelola”.

1.4               UU No. 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi
a.       Secara umum UU No. 12/2012 sudah menampung hampir semua aspirasi Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi (Yayasan) dan perguruan tinggi yang diselenggarakannya (PTS). Namun, masih ada beberapa hal yang perlu kita evaluasi, kaji, dan analisis, karena dapat mengganggu eksistensi dan perkembangan PTS di masa yang akan datang.

b.      Beberapa hal/masalah yang perlu kita cermati adalah, antara lain mengenai:
1)      Pendidikan TInggi Keagamaan, khususnya yang tercantum di dalam Pasal 7 ayat (3) huruf e dan ayat (4); penjelasan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (7);
2)      Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi, khususnya yang tercantum pada Pasal 50 dan Pasal 90 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Lembaga Negara Lain;
3)      Akreditasi sebagaimana tercantum di dalam Pasal 55, baik akreditasi untuk Institusi (PT) maupun untuk Prodi;
hal-hal yang berkaitan dengan Akreditasi dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.


Setiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta harus melakukan akreditasi. Kemendikbud sudah menetapkan bila suatu program studi (prodi) dari suatu perguruan tinggi (PT) tidak melakukan akreditasi, setelah tahun 2012, maka prodi tersebut tidak akan diperbolehkan mengeluarkan ijasah. Menurut PP No. 19 Tahun 2005 tentang SNP Pasal 94 butir 2: batas waktu akreditasi selambat-lambatnya 16 Mei 2012. Bagaimana dengan PT yang belum terakreditasi setelah tahun 2012?
Di Indonesia ada 3124 perguruan tinggi swasta (PTS) dan 92 perguruan tinggi negeri (PTN). Ada lebih dari 6000 program studi yang belum terakreditasi.

Masalah
a.         Di lapangan dalam melakukan persiapan akreditasi,  ditemukan PT yang meminjam dosen dari luar, belum lagi yang melakukan persiapan asal-asalan karena tanpa akreditasi mereka sudah merasa cukup diminati calon mahasiswa.
b.         Kurikulum, jumlah dosen tetap, keadaan mahasiswa, sarana dan prasarana, serta dana, administrasi akademik, tenaga administrasi/kependidikan, kerumahtanggaan seringkali tidak diperhatikan dalam pengisian boring.
c.          Sistem akreditasi perguruan tinggi banyak dikeluhkan berjalan lamban, baik yang dilakukan oleh BAN-PT (kemungkinan karena kurangnya tenaga asesor khususnya untuk prodi yang langka) dan oleh perguruan tinggi sendiri (pengajuan tersendat-sendat).
d.         Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan pihak Perguruan Tinggi untuk memenuhi persyaratan standarisasi akreditasi misalnya: sarana dan prasarana harus terpenuhi, memenuhi sumber daya manusia : dosen, laboran, teknisi, tenaga administrasi, dan tenaga pendukung. Dan supaya PT memenuhi keseluruhan program Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pendanaan yang memadai.
e.         Penurunan peringkat akreditasi menyebabkan penurunan jumlah mahasiswa. Pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masalah akreditasi tidak terlalu memengaruhi minat calon mahasiswa untuk mendaftar ke PTN tersebut. Beda halnya dengan PTS yang sangat bergantung pada peringkat akreditasi.
f.          Pendanaan Perguruan Tinggi, khususnya swasta, masih tergantung pada jumlah mahasiswa, sehingga seperti dalam lingkaran masalah, karena calon mahasiswa selain melihat peringkat akreditasi program studi juga melihat peringkat akreditasi dari PTS tersebut.
g.         Kemampuan Yayasan dan kepemimpinan dari PTS juga memengaruhi tingkat keseriusan dan kecepatan pemenuhan nilai akreditasi PT tersebut.
h.         Terjadi penurunan peringkat akreditasi PTS dan juga PTN, apa penyebabnya? Kemungkinan bertambahnya butir dalam borang akreditasi (dari 35 sampai 40 butir  isian menjadi 103 butir isian), artinya terjadi perubahan standar penilaian:
i.           Ada juga program studi yang menjiplak (plagiat) borang program studi lain pada PT lain, khususnya Evaluasi Diri.
j.           PT tidak transparan kepada mahasiswa dan calon mahasiswa berkaitan dengan akreditasi.

4)      pelaksanaan UU No. 12/2012 berupa 10 Peraturan Pemerintah (PP) dan 28 Permendikbud RI.
Dalam hal ini yayasan penyelenggara PTS dan pimpinan PTS harus terus mengawal dan memberikan input atas semua RPP rancangan Permendikbud, agar tidak kecolongan/ ada ketentuan yang merugikan dunia pandidikan tinggi swasta;

5)      hal khusus lainnya berkaitan dengan pelaksanaan UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas dan UU No. 12/2012 adalah pengertian PTS. Dalam hal ini Pengurus Asosiasi BP TPSI sangat intensif membicarakan hal ini dengan Dirjen Dikti (terakhir 14 Januari 2013) dan dengan Wapres RI.

1.5               Berbagai peraturan lainnya, khususnya yang berkaitan dengan:
a.       Surat Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 bertanggal 27 Januari 2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah. Dalam hal ini secara prinsip Pengurus Asosiasi BP PTSI menolak surat Dirjen Dikti tersebut karena bertentangan dengan ketentuan UU No. 23/2003 Tentang Sisdiknas Pasal 25, yang menyatakan pada ayat (1): “Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akedemik, profesi, atauvokasi.”
b.      Surat Dirjen Dikti No. 1639/E/T/2011 dan No. 1643/E/T/2011 masing-masing bertanggal 18 Oktober 2011 tentang Moratorium (penghentian proses pengajuan usulan pembukaan program studi, bahkan pembukaan PTS baru).


II.                  Tentang Yayasan
Ketentuan tentang Yayasan diatur di dalam Undang-Undang No. 16/2001 jo UU No. 28/2004 dan PP No. 63/2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan. Di dalam kenyataannya hingga saat ini masih banyak yayasan yang belum menyesuaikan AD-nya seperti diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang Yayasan dan PP-nya.
Mereka ini diancam bubar dan kekayaannya harus dilikuidasi. Pertanyaan yang muncul “bagaimana nasib siswa/mahasiswa, guru/dosen,  dan tenaga kependidikannya?”

Untuk menyikapi kegusaran besar atas nasib dan masa depan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, di dalam Seminar Nasional tanggal 23 Maret 2011 di Hotel The Sultan, Jakarta, peserta seminar sepakat untuk meminta kepada Mahkamah Konstitusi guna melakukan uji materi UU Tentang Yayasan, dengan dua permohonan: (1) primair dan (2) subsidair.

Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya,  mempunyai beberapa pilihan hukum sebagai berikut.
a.       Membubarkan yayasannya, sekiranya tujuan yayasan sudah tercapai atau tidak tercapai.
b.      Menggabungkan diri dengan yayasan lain terutama dengan yayasan yang sudah maju dan mempunyai maksud dan tujuan yang sama.
c.       Mengubah diri menjadi bentuk badan hukum lain, seperti perhimpunan, perkumpulan, dan lain-lain, atau perseroan jika titik berat tujuan yayasan adalah komersial.
d.      Mendirikan yayasan baru dengan nama baru, dengan kekayaan awal dari hasil likuidasi. Sejarah kekayaan ini dapat dicantumkan dalam Anggaran Dasar.

Sejak diberlakukannya UU Yayasan Tahun 2001, sebenarnya pemerintah sudah memberi jangka waktu bagi yayasan untuk memilih, apakah akan tetap menggunakan nama Yayasan dengan konsekuensi baginya berlaku/mengikat ketentuan UU Yayasan; atau memilih untuk mengubah bentuk menjadi badan hukum lain (misal: perkumpulan, perhimpunan, dll.), dan tidak perlu mengikuti ketentuan UU Yayasan.

Ada 2 kriteria Yayasan yang terancam bubar, yaitu sebagai berikut.
a.       Yayasan yang sedang dalam proses menunggu pencatatan daftar yayasan dari Kementerian Hukum dan HAM. Artinya bahwa yayasan tersebut sudah mengubah Anggaran Dasar dan menyesuaikan sesuai ketentuan UU Yayasan, tetapi belum ada surat penerimaan/pencatatan dari KemenkumHam; atau
b.      Yayasan yang memang tidak mengubah anggaran dasarnya, entah karena tidak mau (ini saya dengar dari Indonesia wilayah Timur dan Batam), atau karena ketidak-tahuan akan konsekuensinya.

Memerhatikan hal-hal tersebut, maka jika Asosiasi BPPTSI akan mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, dasar hukum kita agak lemah, karena UU Yayasan telah memberikan beberapa pilihan, dan dari sudut waktu penyesuaian pun sudah diberikan cukup lama.
Memang yayasan (yang tidak menyesuaikan) dibubarkan (dimatikan), masih bisa menyelenggarakan pendidikan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 Pasal 60 huruf d dinyatakan bahwa “masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, menengah, dan/atau tinggi, melalui badan hukum yang berbentuk antara lain yayasan, perkumpulan, dan badan lain sejenis. Dengan kata lain, yayasan yang terancam bubar dapat mengganti bentuk badan hukumnya, tidak lagi menjadi yayasan, tetapi bisa memilih bentuk badan hukum lain seperti perkumpulan/perhimpunan. Misalnya tadinya Yayasan Marsudirini berubah menjadi Perhimpunan Marsudirini.

Mungkin yang dibutuhkan adalah pengakuan bahwa badan hukum Yayasan boleh menyelenggarakan pendidikan secara langsung. Dengan demikian, apa pun yang akan dihadapi di depan, kita akan lebih tenang dan lebih memusatkan pemikiran pada penataan, peningkatan, dan pengembangan karya yayasan. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah Addendum (Aturan Tambahan) dalam UU Yayasan yang mengatur secara khusus tentang  yayasan pendidikan, mengingat bahwa saat ini yang disebut Yayasan mempunyai ragam aktivitas, misalnya kesehatan, lingkungan hidup, dan lain-lain.

Selanjutnya agar kepada Mahkamah Konstitusi RI diajukan permohonan:
A.      Primair
1)      Membatalkan ketentuan Pasal 71 UU Tentang Yayasan.
2)      Menghapuskan kata “paling lambat tiga tahun” dalam Pasal 71 ayat (1).
B.      Subsidair
Memohon perpanjangan waktu untuk penyesuaian Anggaran Dasar yayasan. Jika permohonan dikabulkan, tugas kita melakukan sosialisasi besar-besaran atas konsekuensi hukum pendirian yayasan bagi para anggota.

Catatan:  Kita pantas bersyukur bahwa melalui perjuangan yang tidak kenal lelah dari Pengurus Asosiasi BP PTSI dan eksponen masyarakat lainnya, saat ini  telah terbit PP No. 2/2013 Tentang Perubahan atas PP No. 63/2008 Tentang Pelaksanaan UU Tentang Yayasan.
                    PP ini intinya menetapkan tidak ada pembubaran suatu Yayasan asal masih melakukan kegiatan secara terus-menerus sesuai dengan Anggaran Dasarnya dan belum pernah dibubarkan.


III.                Tentang Ketenagakerjaan

Kalangan pendidikan cukup gusar, utamanya karena penyelesaian perselisihan/PHK  harus ke Dinas Ketenagakerjaan sesuai dengan UU No. 13/2003. Juga UU No. 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Penyelesaian Perselisihan tentang PHK akan ditangani oleh P4D atau P4P.
Penetapan UU No. 13/2003 Pasal 1 ayat (6) Tentang pekerja/buruh seharusnya tidak dapat diterapkan kepada guru/dosen sebagai tenaga pendidik profesional dan keilmuan, dengan alasan:
a.       hasil kerja buruh/pekerja adalah barang/jasa, sedang
b.      hasil kerja guru/dosen adalah sesuai dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional (sesuai UU No. 20/2003).

Keprihatinan
Setiap terjadi perselisihan antara guru/dosen dengan Yayasan, penyelesaiannya menggunakan Undang-Undang No. 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, guru dan dosen dianggap/disamakan dengan buruh pabrik atau kuli pelabuhan yang terikat dengan perjanjian kerja dengan suatu perusahaan. Mengapa tidak diselesaikan berdasarkan Surat Perjanjian Kerja dan/atau berdasarkan AD/ART Yayasan penyelenggara pendidikan?
Kesulitan baru terjadi jika LSM ikut masuk ke lingkungan sekolah dengan dalih membela dan/atau memerjuangkan hak-hak guru/dosen.


IV.                Tentang Otonomi Daerah

Peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini tertuang di dalam UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004, UU No. 23/1999 jo UU No. 33/2004, dan PP No. 48/2008 Tentang Pendanaan Pendidikan.
Peraturan perundangan tersebut:
a.       sering dilaksanakan secara diskriminatif, baik di dalam penentuan jatah untuk sertifikasi guru, bantuan keuangan, bantuan sarana dan prasarana pendidikan;
b.      isu penarikan guru PNS yang dipekerjakan pada sekolah swasta;
c.       pemda masih saja sering mendirikan SD/SMP/SMA/SMK  baru yang letaknya sangat berdekatan dengan sekolah-sekolah swasta. Cepat atau lambat, hal tersebut pasti akan mematikan sekolah-sekolah swasta.

V.                  Kebijakan Perpajakan Terhadap Yayasan penyelenggara Pendidikan
Karena aspek yang diatur di dalam kebijakan tersebut begitu luas dan rinci, maka pada kesempatan ini akan diberikan ketentuan yang lengkap mengenai hal tersebut.

Penutup
                Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dan diulas di atas, ternyata masih begitu banyak pekerjaan rumah yang dihadapi oleh dunia pendidikan swasta. Oleh karena itu, kita harus terus-menerus mengkritisi berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan serta berbagai peraturan perundangan terkait lainnya, kemudian menyampaikan saran dan usul kepada Pemerintah dan DPR RI, dan di mana dianggap perlu kepada Pemda serta instansi terkait lainnya.

Beberapa prinsip yang selalu jadi platform juang dunia swasta adalah pengakuan hak sejarah yayasan, perkumpulan, perserikatan, dan badan hukum sejenis lainnya yang menyelenggarakan pendidikan; hak asasi yayasan; kebhinekaan/kemajemukan; nondiskriminasi; nonetatisme.

                Pada akhirnya marilah kita perbaiki/sempurnakan berbagai kekurangan diri kita, mulai dari (1) fokus pengembangan, (2) fokus keunggulan, (3) proses pembelajaran (4) system penjaminan mutu, dan (5) selalu memerhatikan kebutuhan dunia kerja dan industri, wirausaha, dan pihak-pihak terkait lainnya.

               


Singaraja, 25 Januari 2013
Thomas Suyatno



* Makalah ini disajikan dalam acara Pelantikan Pengurus Asosiasi BP PTSI Bali pada 25 Januari 2013 di Singaraja, Bali.
** Thomas Suyatno adalah Guru Besar (Profesor) di bidang Ekonomi/Manajemen dan saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan TInggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Ketua Yayasan Bhakti Pembangunan Indonesia, Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Manado,Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo, dan Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Mulawarman, Samarinda.

1 komentar: